SASTERA

ISBAT

“Adakah kau merasakan tipis udara
meresap ke halkum dan parumu
diiring suam dari remang cahaya
yang tumpah ke kulit petang ini?”

Dari matamu, aku mengerti,
betapa kau ingin sekali
melihat bagaimana kenyataan
kencing mencangkung
di atas batang hidung mereka
yang pernah mentertawakanmu.

Di meja makan, kita selalu didendangkan
cerita-cerita mimpi dari yang kalau-kalau
barang puja yang diharap terhampar sendiri.
Selalunya tentang batang tubuh
selain dari yang punya suara.

“Mimpi buruk memang selalu menakutkan
tetapi, tunggu sehingga kau berdepan
dengan sebuah kenyataan yang sial.
Ketika itu, aku ingin duduk mendengar
keluhanmu, dan memakai topeng wajahmu
sendiri dari waktu yang dulu.”

Lukanya kautahu akan lebih parah,
dan tak tertanggung waktu, menanti sembuh.
Ketika itulah mereka akan mengingati lagi
semua kejahatan yang telah dilakukan
walau dahulu mereka langsung tak menyedarinya.
Beza antara kita; aku tak pernah terlalu takut
untuk menyatakan maaf atau menyumpah seranah.

Rapikan dirimu sekali lagi dikejatuhan ini.
Yang bakal menjelang nanti bukan lagi
bayangan dari mimpi-mimpimu itu
sebaliknya batu keras dari luka-luka lama
tonyoh mulutmu yang datang sebagai
turus buku lima menyeringai
tak pernah kau inginkan hinggap
di kulit mukamu yang mulus.

Tentang wajahmu. Kautahu apa yang mereka bilang?
Semakin hari ia semakin berubah warna dan bentuk
perlahan-lahan bergerutu dengan ketuat dalam
sama seiras dengan wajah yang pernah kau kutuki.

Menyaksikan putaran ini mengambil tempat,
aku teringatkan kata-katamu sendiri tentang
bagaimana kita harus melakukan
banyak perkara dengan penuh semangat.
Ketika ini, dikedudukan paling tepat
untuk kau melakukan sanggahan
kau hanya belajar untuk mematahkan
semangat orang, cara halus.

Hafiz Hamzah
RusSel

 


Pengarang :