SASTERA

Perahu Kertas Yang Berlayar Di Bawah Rambutmu

Lewat malam di mana iri berpesta-tari, ketika di depanku langit menjadi rambutmu, perawan. Bintang serupa mata-mata yang mengintai keelokanmu. Aku tetap bulan (sebenarnya aku gemar menjadi bulan), bebola hodoh yang terlihat yakin dari jauh. Senyap, menunggu lenyap di sebalik bajumu.

Kudengar laut teratur mengiringi Bach. Menunda kesibukan di jarum jam tangan. Kau meniup angin yang paling tenteram di antara kekusutan. Lantas di cuping telingaku, ia tertinggal sebagai desahan yang harus dinikmati sebelum matari menuang pagi, mengguyuri kepalaku sekali lagi dengan tanggungjawab.

Kedewasaan benar-benar telah melelahkan fikiranku. Mengeluh bererti menghancurkan masa depan, dan memejamkan mata membawaku beradu di ranjang nostalgia. Aku menjadi asing kepada wajah sendiri. Sampai kautiba sebagai cumbuan selamat tidur, ketika siang kutemui tubuhku kembali remaja di depan cermin.

Sejak itu, kepalaku terasa lebih ringan–walaupun sebenarnya kita bertemu di antara kata setuju dan tidak setuju. Saling mencintai bererti memilih untuk tinggal di pantai. Jadi sebelum kaugusar dilanda badai, aku melipat cinta menjadi perahu kertas untuk menyelamatkanmu ketika lemas.

Senyumanmu adalah jalan pulang untuk nafasku kembali ke jantung. Kini, aku hidup semacam hukuman yang menyeduh waktumu, lantas wajahmu menjadi satu-satunya kediaman yang paling melegakan. Meskipun mendung semakin kerap mendakap pagi, tapi kepalaku menjadi jendela yang membaca hujan sebagai pelangi.

Jed
Seremban


Pengarang :