(dari Kampung Karyawan Malim ke Wangsa Maju)
I
Aku memakai rantai sumpahan di leherku sejak lahir,
menulis puisi adalah mengirim hadiah perpisahan
buat perempuan yang kucintai. Aku menjahit kegelapan
di langit sajak dan menjualnya sebagai pakaian tidur
Tidak ada jalan keluar bagiku
aku akan terus menggigit urat dagingku
membahagi ketul-ketulnya pada yang kucintai
hingga aku hanya ada jantung untuk berdegup
kali terakhir: melihat kau meratap menangis keranaku
Aku melarikan diri kerana ingin pulang
suara ibu yang memanggil namaku
terasa hampir di telinga saat aku terlena
tetapi malam memaksaku melupakan
hasrat untuk berehat
Aku akan terus mengembara, seperti bibir mencari bibir
hingga ada darah yang terlalu racun untuk kulepaskan
II
Barangkali akulah parasit yang mendampingimu
dengan senyuman dan dada berdarah, kau mempercayaiku
kau memberiku sehiris hati, tetapi aku meratahmu seluruh tubuh
Aku parasit yang menghisap segala keinginanmu pada hidup,
ketenangan kebun bunga yang memuja purnama
aku di situ menanti kekasihmu melucutkan gaunnya
Tentang persoalanmu dalam perjalanan tiada hujung ini:
sampai bila aku akan menghantui? Selamanya. Selama tubuh ini
menagih darahmu, selama itu. Aku akan berlalu setelah tubuhku tidak
perempuan lagi.
Teman penyair, antara kita siapakah yang lebih kejam?
Shafiq Said
Mentakab, Pahang