Rusuh dadanya mencakar awan
dipandang bulan
bagai melukis bayang-bayang rupanya
di atas bendera
tanpa telinga, mata dan hidung
dengan jelir lidah sejengkal.
Nyaring ngauman
ia mengeluti pancaran sinar
menyelak kitab sejadah malam
meracun skrip-skrip celaru
jajaran tebu kelat
bergaul nafsu laknat.
Kukunya masih menitis darah
sawah huma pukat-pukat nelayan
kapal seorang piatu
pelayar doa generasi
dari mengharap
atmanya diselubung cahaya.
Bencinya pada bulan
membusuk bisul tubuhnya
di pohon perdu
masih melapah bangkai
taringnya kian pendek
sependek kelibat waktunya.
Jelison Jupin
Kampung Tawanan, Paitan